Minggu, 20 Oktober 2013

SKRIPSI INSTAN PERTANIAN



ANALISIS PENDAPATAN PETANI KARET
DI DESA PULAU PANDAN KECAMATAN LIMUN
KABUPATEN SAROLANGUN
 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Sejak awal pembangunan peranan sektor pertanian dalam pembangunan Indonesia tidak perlu diragukan lagi, Pembangunan sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dan kebutuhan industri dalam negeri, meningkatkan eksport, meningkatkan pendapatan petani, memperluas kesempatan kerja serta mendorong kesempatan berusaha. (Soekartawi. 1993 : 20)
Sebagai mana daerah lainnya di Indonesia, sebagian besar penduduk Propinsi Jambi tinggal di daerah pedesaan dengan mata pencarian utama berada pada sektor pertanian. Tidak dapat di pungkiri pula bahwa sebagian besar dari mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kondisi ini bila tidak dapat di atasi akan menimbulkan ketimpangan yang besar dalam pembangunan, khususnya antara desa pedesaan dan daerah perkotaan. Upaya-upaya mengurangi ketimpangan tersebut harus di lakukan, terutama yang terkait erat dengan program-program pembangunan daerah pedesaan dan pengintegrasiannya dengan pembangunan daerah perkotaan.
Masalah pokok yang timbul dari kesenjangan pembangunan tersebut terutama dalam hal pendapatan. Pendapatan hingga saat ini masih menjadi tolak ukur bagi kesejateraan dan status sosial masyarakat. Perbedaan yang terlalu timpang akan menimbulkan masalah-masalah sosial ditengah-tengah masyarakat. Dalam konteks pembangunan, ketimbangan distribusi pendapatan akan menghambat pembangunan nasional. Karenanya redistribusi pendapatan harus terlaksana secara lebih adil
Selama tahun 2005-2006 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sarolangun rata-rata sebesar 6 persen. Sementara itu pendapatan PDRB perkapita Kabupaten Sarolangun berdasarkan harga konstan pada tahun 2000 adalah sebesar Rp.3.534.085, kemudian mengalami peningkatan menjadi Rp.3.846.131 pada tahun 2003, pada tahun 2004 pendapatan perkapita adalah sebesar Rp.4.060.972, pada tahun 2005 kembali mengalami kenaikan menjadi Rp. 4.273.041, dan pada tahun 2006 pendapatan perkapita penduduk Kabupaten Sarolangun adalah sebesar Rp.4.465.035. (Anonim, 2006)
Dari data di atas terlihat bahwa  pendapatan perkapita penduduk Kabupaten Sarolangun menunjukkan grafik yang terus meningkat, dan dapat dimaklumi kenaikan ini ditunjang oleh beberapa faktor baik itu faktor teknis maupun faktor non teknis lainnya, dengan kondisi tersebut diharapkan dapat mengubah kondisi hidup masyarakat  pedesaan yang hidup dari hasil pertanian.
Sektor pertanian maupun perkebunan masih memegang peranan yang sangat penting dalam  perekonomian di Kabupaten Sarolangun, pembangunan perkebunan di Kabupaten Sarolangun memang sangat urgen baik secara historis maupun teknis, secara historis sejak dahulu mata pencarian masyarakat adalah berkebun seperti berladang padi dan tanaman palawija lainnya dilanjutkan dengan penanaman komoditi perkebunan seperti karet, kopi, kelapa sawit dan lain-lain, secara teknis kondisi lahan di Kabupaten Sarolangun sangatlah mendukung, masih banyak lahan tidur dan lahan kritis yang belum dimanfaatkan yang berjumlah 121.288 Ha atau sekitar 19,64 % dari luas Kabupaten Sarolangun yang merupakan potensi untuk pengembangan perkebunan kedepan.
Di Kabupaten Sarolangun komoditas pertanian ataupun perkebunan cukup banyak diusahakan petani dan memegang peranan penting adalah karet, dapat dimaklumi mengapa pentingnya komoditas karet ini dikembangkan sebagai salah satu komoditi unggulan Kabupaten Sarolangun mengingat dari sekian banyak komoditi perkebunan, perkebunan karet memiliki lahan terluas dan terbesar di Kabupaten Sarolangun, hal ini menunjukkan betapa besarnya potensi komoditas karet untuk di  kembangkan guna menopang perekonomian rakyat.
 Luas Areal dan Jumlah Produksi usaha perkebunan dapat dilihat pada tabel 1.1. di bawah ini :
 Tabel 1.1
 Luas Areal dan Jumlah Produksi Usaha Perkebunan
Kabupaten Sarolangun Tahun 2003-2005
No
Jenis Usaha Perkebunan
Jumlah
Satuan
2003
2004
2005
1.
Karet
a.       Luas areal
b.      Jumlah produksi

129.541,20
63.353,64

109.081,77
476.388,42

117.995,42
258.624,08

Ha
Ton
2.
Kopi
a.       Luas areal
b.      Jumlah produksi

208,25
103,3

230,95
336,93

329,90
10,97

Ha
Ton
3.
Kelapa Sawit
a.       Luas areal
b.      Jumlah produksi

43.536,16
116,955

6.165,65
50.662,80

31.839,86
254.249,04

Ha
Ton
4.
Lada
a.       Luas Areal
b.      Jumlah produksi

23,25
19,25

15,20
52,80

320
330

Ha
Ton
5.
Kelapa
a.       Luas Areal
b.      Jumlah Produksi

813,65
179,677

665,20
5.238,96

670,70
419.175

Ha
Ton
6.
Tebu
a.       Luas areal
b.      Jumlah produksi

5
2,4

-
-
-
-

Ha
Ton
7.
Cassiavera
a.       Luas Areal
b.      Jumlah Produksi

-
-

803,50
2.547

739,50
54,0

Ha
Ton
8.
Pinang
a.       Luas Areal
b.      Jumlah Produksi

-
-

329,25
1.469,70

329,90
89,21

Ha
Ton
9.
Aren
a.       Luas areal
b.      Jumlah Produksi

-
-

33,65
10,56

26,25
0,23

Ha
Ton
10.
Kemiri
a.       Luas Areal
b.      Jumlah Produksi

-
-

8
72

8
6,25

Ha
Ton
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sarolangun 2006
Dari tabel 1.1. dapat dilihat jenis usaha perkebunan karet memiliki lahan terluas serta jumlah produksi yang paling banyak dari komoditi-komoditi perkebunan lainnya. Hal ini menunjukkan betapa besarnya produksi komoditas karet untuk dikembangkan guna menopang perekonomian rakyat. Bila dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, maka usaha tani perkebunan  karet ini mampu menyerap ribuan petani karet. Besarnya jumlah petani yang menggantungkan hidupnya pada komoditas perkebunan karet ini, sudah barang tentu merupakan aset yang harus di manfaatkan, sebagai upaya meningkatkan hasil produksi karet  dalam rangka meningkatkan ekspor komoditas karet, disamping sebagai aset juga merupakan sebagai beban tanggung jawab bagi pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka.
Ironisnya sektor pertanian yang merupakan menyerap tenaga kerja terbesar dan tempat menggantungkan harapan hidup sebagian besar masyarakat khususnya di pedesaan itu justru menghadapi masalah yang cukup kompleks. Masalah-masalah tersebut antara lain mencakup rendahnya tingkat pendapatan petani. Sektor yang identik dengan daerah pedesaan ini menghadapi masalah kemiskinan. Kondisi kesejahteraan masyarakat pedesaan dengan mata pencarian utama disektor pertanian sebagian besar masih di bawah rata-rata nasional. Hal ini bila di biarkan secara terus menerus akan menjadi sebab semakin melebarnya kesenjangan pendapatan antara masyarakat yang berpenghasilan tinggi dengan masyarakat yang berpenghasilan rendah yang pada akhirnya akan menjadikan yang kaya semakin kaya dan yang miskin akan menjadi semakin miskin (Mubyarto, 1989)
Desa Pulau Pandan Kecamatan Limun merupakan salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Sarolangun yang sebagian besar masyarakatnya hidup dan bekerja pada sektor pertanian. Masyarakat Desa Pulau Pandan mengusahakan tanaman karet sebagai tanaman utama. Desa dengan penduduk 1.740 jiwa ini, sebanyak 462 jiwa bekerja sebagai petani, sementara dari jumlah 462 petani tersebut, 280 jiwa di antaranya bekerja sebagai petani karet. Sebagai tanaman utama yang di usahakan, maka ketergantungan terhadap pendapatan dari hasil penjualan karet ini sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan mereka.
Meskipun Desa Pulau Pandan merupakan salah satu desa penghasil karet di Kabupaten Sarolangun, namun kenyataan menunjukkan tidak semua masyarakat petani karet hidup dalam kondisi yang lebih baik, banyak di antara mereka tergolong miskin. Berdasarkan fenomena-fenomena inilah penulis merasa sangat perlu untuk melihat tingkat pendapatan dan distribusi pendapatan di antara kelompok masyarakat petani penerima pendapatan, khususnya petani yang mengusahakan tanaman karet yang penulis tuangkan dalam suatu penelitian berbentuk  Skripsi dengan judul: “ Analisis Pendapatan Petani Karet di Desa Pulau Pandan Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun

1.2.      Rumusan Masalah
Penduduk Desa Pulau Pandan sebagian besar bekerja dan berusaha pada sektor pertanian, di mana tanaman pertama yang di usahakan adalah tanaman karet, di samping mengusahakan tanaman karet sebagai tanaman utama, biasanya petani di desa ini juga mengusahakan tanaman lainya. Banyak dari petani karet yang ada mencari usaha sampingan meningkatkan pendapatan mereka. Dengan demikian mereka bertahap tidak mengalami ketergantungan dari usaha tani karet, terutama pada saat harga karet anjlok.
Tingkat pendapatan suatu kelompok masyarakat terutama di daerah pedesaan masih di anggap sebagai tolak ukur kesejahteraan dan status sosial mereka. Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang biasanya memiliki kesejahteraan dan status sosial yang semakin tinggi pula. Sementara itu tingkat kesejahteraan sangat terkait erat dengan distribusi pendapatan yang tidak merata merupakan akibat dari besarnya tingkat ketimpangan pendapatan.
Berdasarkan latar belakang seperti yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan penelitian ini adalah :
1.            Bagaimana karakteristik sosial ekonomi petani karet di Desa Pulau Pandan Kecamatan Limun ?
2.            Bagaimana Distribusi pendapatan petani karet di desa Pulau Pandan Kecamatan Limun ?
3.            Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pendapatan petani karet di Desa Pulau Pandan Kecamatan Limun ?
 
1.3.      Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1.      Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui dan menganalisis kondisi sosial ekonomi petani karet di Desa Pulau Pandan
2.      Untuk mengetahui dan menganalisis distribusi pendapatan petani karet di Desa Pulau Pandan
3.      Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pendapatan petani karet di Desa Pulau Pandan Kecamatan Limun ?
1.3.2.      Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1.      Dari sisi Akademisi, hasil penelitian ini di harapkan menjadi salah satu referensi bagi penelitian selanjutnya, terutama yang mengkaji topik yang sama
2.      Dari sisi Praktisi, hasil penelitian ini di harapkan menjadi bahan masukan bagi pemerintah daerah  mulai dari tingkat propinsi sampai ke tingkat desa dalam menyusun kebijakan terutama yang berkisar dengan upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, khususnya petani karet.
 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.       Pendapatan
Pembangunan yang di laksanakan setiap negara tujuannya tidak terlepas dari upaya meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara menyeluruh. Pencapaian tujuan tersebut diantaranya melalui peningkatan pendapatan. Pembangunan yang di laksanakan harus dapat di rasakan dan di manfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat baik di perkotaaan maupun di pedesaan dan mengacu pada keseimbangan antar sektor dan antar daerah termasuk penciptaan lapangan kerja. Di Indonesia dalam berbagai variasi penekanannya sejak awal menganut strategi pertumbuhan sekaligus pemerataan dan penanggulangan kemiskinan. (Syaparuddin, 1999)
Tolak ukur yang paling banyak di pakai dan menjadi pusat perhatian ekonomi makro adalah pendapatan nasional (Soediono, 1984). Hal ini di maklumi karena dengan memperhatikan atau menghitung pendapatan nasional akan dapat pula melihat kemakmuran suatu negara, wilayah atau masyarakat tertentu. Karena itu untuk meningkatkan kemakmuran adalah meningkatkan pendapatan nasional maupun pendapatan perkapita. (Partadireja,1989)
Mulyanto dan Ever (1982) mengemukakan bahwa pendapatan adalah seluruh penerimaan baik berupa uang atau barang dari hasil usaha atau produksi. Sementara pendapatan rumah tangga dapat di artikan sebagai jumlah keseluruhan dari pendapatan formal, informal dan sub sistem. Pendapatan formal adalah penghasilan yang di peroleh melalui pekerjaan pokok dan pendapatan sub sistem adalah penghasilan yang di peroleh dari faktor produksi yang di nilai dengan uang.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan pendapatan rumah tangga sebagai seluruh penerimaan yang di dapat setiap rumah tangga atau balas jasa faktor-faktor ekonomi (Anonim, 1985). Ada keterkaitan yang erat antara pendapatan, faktor produksi dan tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Selanjutnya menurut (Tjahyono, 1987) besarnya pendapatan petani dapat berasal dari usaha tani dan non tani . Mosher dalam Mubyarto (1989) mengemukakan bahwa semua petani  menginginkan kesentosaan dalam keluarganya. Sehingga kebutuhan keluarganya selalu dapat di penuhi semuanya. Oleh karena itu mereka selalu berusaha untuk meningkatkan intensitas usaha taninya dengan berbagai cara sehingga pendapatanya meningkat. Berkaitan dengan hal ini selanjutnya Mubyarto mengungkapkan bahwa yang lebih penting bagi petani adalah naiknya pendapatan. Pendapatan dari usaha tani di peroleh dengan menjumlahkan semua pendapatan yang  di peroleh dari usaha tani yang dilakukannya. Sedangkan penghasilan diluar usaha tani di peroleh dari penjumlahan seluruh penghasilan sampingan yang di lakukan di luar usaha tani.
Menurut Soekartawi (1987) perubahan tingkat pendapatan akan mempengaruhi banyaknya barang yang akan dikonsumsi, pada tingkat pendapatan rumah tangga yang rendah, maka pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari pendapatannya. Hal ini berarti pengeluaran konsumsi bukan hanya di biayai oleh pendapatan mereka saja, tetapi juga dari sumber lain seperti tabungan yang dimiliki, penjualan harta benda, atau dari pinjaman. Semakin tiggi tingkat pendapatannya maka konsumsi yang di lakukan rumah tangga akan semakin besar pula. Bahkan sering kali sering di jumpai dengan bertambahnya pendapatan, maka barang yang di konsumsi bukan hanya bertambah akan tetapi kualitas barang yang diminta pun bertambah.

2.2.   Distribusi Pendapatan
Setiap negara baik negara maju maupun negara berkembang, umumnya sangat memperhatikan masalah distribusi pendapatan yang terjadi di negaranya. Beberapa ekonom berpendapat bahwa perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya, terutama kepemilikin barang modal (capital stock). Pihak yang memiliki banyak barang modal lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula di bandingkan dengan pihak yang memiliki sedikit barang modal. Perbedaan pendapatan karena perbedaan kepemilikan awal faktor produksi tersebut menurut teori neo klasik dapat di hilangkan atau dikurangi melalui suatu proses penyesuaian otomatis. Dengan proses tersebut masih ada perbedaan pendapatan yang cukup timpang. Maka dapat di lakukan pendekatan Keynes yaitu melalui sistem perpajakan dan subsidi. Perpajakan dan subsidi dapat dipergunakan sebagai alat redistribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan. (Susanti dkk, 1995)
Pengalaman di negara –negara yang sedang berkembang menunjukkan bahwa pertumbuhan GNP perkapita yang lebih tiggi tidak selalu di iringi oleh peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Kadang justru dengan semakin tingginya pertumbuhan GNP perkapita tersebut menurunkan penurunan absolut dalam tingkat hidup penduduk golongan miskin di kota dan di desa, sehingga tidak terjadi dengan apa yang disebut : “trickle down effect” dari manfaat pertumbuhan ekonomi pada golongan penduduk miskin (Arief, 1979).
Sehubungan dengan hal tersebut diatas Kuznets dalam Arsyad (1982) mengemukakan bahwa suatu negara apabila masyarakatnya masih dalam keadaan miskin maka distribusi pendapatannya akan lebih merata dan apabila negara tersebut mulai mengadakan pembangunan maka distribusi pendapatan akan cenderung timpang, kemudian akan merata kembali apabila masyarakatnya sudah berada dalam hidup makmur.
Redistribusi pendapatan dari pertumbuhan pada hakekatnya menganjurkan negara berkembang agar tidak hanya memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi (memperbesar kue pembangunan) namun juga mempertimbangkan bagai mana distribusi kue tersebut. Situasi ini bisa diwujudkan dangan kombinasi strategi seperti peningkatan kesempatan kerja, investasi sumber daya manusia, perhatian pada petani kecil, sektor informal dan pengusaha lemah. Dengan kata lain, syarat utamanya adalah orientasi pada sumber daya manusia (Kuncoro, 2000)
Meratanya distribusi pendapatan masyarakat saat masih berada taraf hidup miskin adalah karena status kepemilikan faktor produksi yang kecil, sementara pada taraf hidup dimana sudah ada pelaksanaan pembangunan distribusi pendapatan cenderung timpang adalah karena hasil pembangunan belum bisa dinikmati secara merata, disamping infrastruktur yang mendukung meningkatmya pendapatan masyarakat belum memadai. Suatu saat apabila hasil-hasil pembangunan telah bisa dinikmati dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat maka distribusi pendapatan akan kembali merata dengan kondisi taraf hidup yang lebih makmur.
Hasibuan dalam Nurjana, dkk (1997) menyatakan bahwa dengan meningkatnya pembangunan ekonomi, kesenjangan pembagian pendapatan masyarakat juga meningkat, karena semakin cepat ekonomi berkembang maka orang mengharapkan hasil yang lebih tinggi dari pendidikannya. Pekerja dengan pendidikan dan keterampilan yang kreatif lebih rendah akan memperoleh upah yang rendah, ini membuat pembagian pendapatan semakin panjang.
Secara konsepsional pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berlangsung terus menerus haruslah dapat dirasakan dan di nikmati oleh seluruh lapisan masyarakat bukan hanya sebagian kecil anggota masyarakat oleh karenanya pembangunan ekonomi di samping untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan PDB dan PDRB juga diharapkan dapat menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata. Kuznets sebagai mana yang dikutip Syaparuddin  (1999) mengemukakan bahwa proses pembangunan tercermin oleh adanya pergeseran antar sektor pertanian dan industri. Bila distribusi pendapatan pada sektor pertanian merata di bandingkan dengan sektor-sektor lainya, tentu pergeseran ini bisa menyebabkan distribusi pendapatan lebih pincang bila tidak diikuti oleh peningkatan pendapatan secarah menyeluruh, selanjutnya dikatakan dalam penelitianya bahwa dinegara maju ternyata tingkat pembagian pendapatan kepincanganya lebih kecil bila dibandingkan dengan negara berkembang, hal ini disebabkan karna keberhasilan negara-negara maju  memeratakan produktifitas setiap sektor,dan perbaikan-perbaikan jaminan sosial serta dicapainya kesempatan kerja yang luas, bukan hanya redistribusi dari golongan kaya kepada golongan miskin apalagi sebaliknya.
Selanjutnya Wie (1981, hal 53) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang besar telah berhasil meningkatkan taraf hidup rakyat semua lapisan masyarakat. Namun disamping gejala yang mengembirakan itu, terdapat juga hal yang memprihatinkan, yaitu berbagai pendapat yang bertambah timpang sehingga jurang pemisah antar golongan yang berpenghasilan rendah dan tinggi serta antara pedesaan dan perkotaan menjadi semakin besar. Lebih lanjut menurut Wie (1983, hal 68) mengutarakan bahwa jurang perbedaan antara perkotaan dan daerah pedesaan telah melebar pula  sebagai akibat pola pembangunan yang masih terlalu berorientasi pada prioritas dan kebutuhan penduduk kota.
Menurut Soelistiyo dalam Wie (1983, hal 68) bahwa besar dan laju pertumbuhan pengangguran baik yang penuh maupun yang tersembunyi (setengah menganggur) membawa akibat langsung pada distribusi pendapatan karena pengangguran ini merupakan golongan penerima pendapatan rendah, maka semakin banyak jumlah penduduk yang mengganggur akan timpang pula distribusi pendapatan.
Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa modernisasi pertanian telah memperlebar kesenjangan distribusi pendapatan. Studi Gibbons (1990) menyimpulkan bahwa repolusi hijau telah memperparah kepincangan distribusi pendapatan masyarakat karna meskipun petani kecil secara umum membaik kondisinya sebagai modernisasi pertanian, namun posisi mereka secara relatif lebih buruk dibandingkan dengan petani kaya yang jauh meningkat penghasilannya. Hasil penelitian Arif   dan Wong  (1977) membuktikan bahwa daerah pedesaan jawa terjadi proses meningkatnya ketimpang pendapatan, seperti ditunjukkan oleh meningkatnya gini ratio dari 0,3048 pada tahun 1970 menjadi 0.3604 pada tahun 1976. (Kuncoro, 2000).
Menurut Kuncoro (2000) dalam konstelasi perkembangan terakhir di Indonesia, kesenjangan ekonomi setidaknya dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu :
1.      Kesenjangan dari tingkat kemodernan, yaitu kesenjangan antar sektor modern dan sektor tradisional. Sektor modern umumnya berada didaerah perkantoran, sedangkan sektor tradisional berada didaerah pedesaan.
2.      Kesenjangan regional umumnya adalah kesenjangan antara daerah kawasan timur Indonesia dengan daerah kawasan barat.
3.      Kesenjangan menurut etnis, yaitu antara penduduk pribumi dan non pribumi.
Apabila ketiga dimensi di gabungkan maka akan diperoleh potret kesenjangan kemakmuran Indonesia, yaitu semakin ke kawasan barat Indonesia semakin banyak dijumpai sektor modern dan semakin banyak golongan non pribumi menguasai perekonomian, sebaliknya semakin ke kawasan timur Indonesia, akan semakin banyak dijumpai sektor pertanian dan tradisional, dan semakin banyak golongan pribumi yang menguasai perekonomian.
Hughes dan Islam dalam Kuncoro (2000) menunjukkan bahwa ada peningkatan yang lebih besar dalam kesenjangan di jawa dan daerah luar jawa tahun 1970-1976. Peningkatan kesenjangan ini terutama disebabkan adanya perubahan distribusi pendapatan pada golongan berpenghasilan tinggi, yang dapat ditafsirkan bahwa yang kaya semakin kaya. Di daerah pedesaan jawa ternyata terjadi  penurunan ketimpangan,yang mengindikasikan adanya perubahan dalam golongan pendapatan yang lain rendah, diluar jawa kesenjangan yang lebih rendah dan kesenjangan didaerah pedesaan relatif lebih besar, peningkatan persentase terbesar dalam kesenjangan personal yang diukur dengan koefisien gini tidak terjadi di Jakarta, tetapi terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta.
BPS dalam laporannya sebagai mana dikutip Kuncoro (2000) ada suatu penurunan yang berkesinambungan dalam persentase populasi yang hidup dibawah garis kemiskinan, baik dikawasan pedesaan maupun perkantoran di Indonesia sejak tahun 1976. Kemudian populasi perkotaan lebih cepat dibandingkan perkembangan populasi pedasaan, sehingga penurunan dalam jumlah absolut kemiskinan jauh lebih lambat dari total kaum miskin tahun 1987. Menurut Both yang dikutip dari Kuncoro (2000) terdapat dua alasan utama mengapa penurunan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan yang berkesinambungan cukup cepat :
1.      Ketidakseimbangan dalam kawasan pedesaan menurun antara tahun 1981 dan 1987.
2.      Garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS dalam kenyataanya bertambah lebih lambat tahun 1981 dan 1987 di banding dengan indeks harga pedesaan yang digunakan. Hal ini merepleksikan fakta bahwa harga makanan pokok, khususnya beras, meningkat kurang cepat sejak tahun 1981 dibandingkan dengan harga-harga barang lainya.
Berdasarkan perkiraan Bank Dunia dengan menggunakan data SUSENAS tahun 1976, bahwa lebih dari 70 persen orang yang miskin berlokasi di pulau jawa. Akan tetapi ditahun 1976 distribusi regional kemiskinan mengalami perubahan secara dramatis, hanya 46 persen di pedesaan pulau jawa. Ada penurunan secara drastis proporsi penduduk miskin yang berlokasi didaerah perkotaan maupun pedesaan dijawa yang diikuti dengan kenaikan kemiskinan di pedesaan luar jawa. Secara absolut jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan di luar jawa mengalami penurunan, namun secara relatif mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh perpindahan penduduk dari pulau jawa keluar pulau jawa yang menyebabkan penurunan kesuburan tanah di pulau jawa (Kuncoro, 2000). Berdasarkan sensus ekonomi nasional tahun 1999 jumlah penduduk miskin di Indonesia telah bertambah menjadi hampir 48,4 juta jiwa, hal ini mengalami peningkatan jika dibandingkan sebelum krisis ekonomi tahun1997 yang hanya sebasar 22,5 juta jiwa.
Adelman dan Chintya dalam Arsyad (1992) menyatakan ada delapan penyebab terjadinya ketidakmerataan distribusi pendapatan, yaitu : 1) Pertambahan penduduk yang tinggi menyebabkan turunnya pendapatan perkapita. 2) Inflasi, dimana pendapatan bertambah tetapi tidak diikuti oleh produksi barang-barang secara proporsional. 3) Ketidakmerataan pembangunan antar daerah. 4) Investasi yang sangat pada proyek-proyek yang pada modal sehingga presentase pendapatan modal dari harta tambahan lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah. 5) Rendahnya mobilitas sosial. 6) Pelaksanaan kebijakan industri subsidi impor menyebabkan kenaikan harga barang produk industri melindungi usaha-usaha golongan kapitalis. 7) Memburuknya nilai tukar (term of trade) negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan pemerintaan negara-nagara maju terhadap barang-barang produksi negara sedang berkembang. 8) Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat.

2.3        Analisis Pendapatan dan Distribusi Pendapatan
         Distribusi pendapatan yang merata senantiasa diikuti dengan tingginya tingkat pendapatan, hal ini merupakan indikasi dari kehidupan rakyat yang sejahtera. Sampai saat ini ukuran untuk menentukan tingkat distribusi pendapatan, masing-masing ahli mempunyai cara dan pendapat masing-masing. Pengukuran pendapatan di Indonesia telah sering dilakukan banyak ahli. Menurut Soejono (1987) sebagai satuan pengukur distribusi pendapatan di pedesaan adalah satuan keluarga. Alasannya adalah bahwa keluarga merupakan kesatuan “ Decession Marking “ baik dalam kegiatan produksi .pada umumnya, penaksiran tingkat kesejahteraan ekonomi suatu keluarga dilakukan berdasarkan pendapat bersih atau pendapat yang dapat dibelanjakan (disposible income). Pendekatan ini wajar apabila tujuan penelitian adalah membandingkan status distribusi pendapatan perkeluarga diantara dua periode atau untuk satu populasi  penerimaan pendapatan ataupun periode yang sama untuk berbagai golongan penerima.
Dalam mengukur distribusi pendapatan, bank dunia membagi penduduk atas tiga kelompok, yaitu kelompok 40 % penduduk berpendapatan rendah, kelompok 40 % penduduk yang berpendapatan menengah serta 20 % penduduk yang berpendapatan tinggi. Selanjutnya ketidakmerataan sebaran pendapatan diukur berdasarkan persentase pendapatan yang dinikmati oleh kelompok 40 % penduduk yang berpendapatan rendah dengan kriteria sebagai berikut :
-          Bila persentase penerimaan pendapatan kelompok tersebut lebih kecil dari 12 % berarti tingkat ketimpangan adalah pendapatan “tinggi”
-          Bila kelompok tersebut menerima 12 %-17 % dari jumlah seluruh pendapatan maka distribusi pendapatan tersebut bertingkat ketimpangan ”sedang”
-          Bila kelompok 40 % penduduk berpendapatan rendah menerima lebih besar dari 17 % jumlah pendapatan maka ketimpangan distribusi pendapatan disebut bertingkat ketimpangan rendah.
Perhitungan pengukuran distribusi pendapatan yang populer digunakan oleh ilmuwan dan ekonom dewasa ini adalah koefisien gini (gini ratio) karena perhitungan ini cukup peka untuk menjelaskan hubungan antar kelompok penduduk yang berpendapatan tinggi dengan kelompok lainya.berdasarkan hal itu maka dalam penelitian ini digunakan metode koefisien gini untuk mengukur kondisi distribusi pendapatan. Gini ratio dapat dirumuskan sebagai berikut:
Koefisien Gini    =  ½-1/2(Pi-1) (Yi-1+Yi)
                                            ½
                           =  1- (Pi-(Pi-1) X (Yi-1+Yi)
Perhitungan gini ratio ini secara ilustratif hasilnya diperhatikan melalui kurva lorenz. Kurva ini memperhatikan proporsi pembagian pendapatan untuk masing-masing kelompok penduduk. Dimana apabila kurva lorenz makin mendekati garis kemerataan sempurna, maka distribisi pendapatan makin merata, dan apabila makin jauh dari garis kemerataan sempurna maka distribusi pendapatan makin timpang.
Adapun bentuk kurva lorenz tersebut adalah : (Todaro,1983)
% Petani Kumulatif
 







A








0
 
 


          % Petani Kumulatif
Keterangan :
A = Garis Kemerataan Sempurna
Soelistiyo dalam  Wie (1983) mengungkapkan bahwa kelebihan gini ratio adalah bahwa gini ratio merupakan variabel dinamis yang dalam besarnya berubah-ubah baik antar waktu, daerah maupun antar sektor ekonomi dalam suatu nagara tertentu. Besarnya angka indeks gini ratio berkisar antara nilai 0 sampai dengan nilai 1 yang menunjukkan keadaan distribusi pendapatan. Makin besar nilai gini ratio (mendekati nilai 1) maka tingkat ketimpangan distribusi pendapatan akan semakin besar. Nilai gini ratio sesuai dengan jalannya pembangunan dan kebijaksanaan pembangunan yang ditempuh pemerintah. Semakin cepat pertumbuhan ekonomi, maka indeks gini ratio akan cenderung semakin besar, baik antar waktu, antar sektor ekonomi maupun antar daerah. Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan antara sikaya dan simiskin akan menjadi besar.

2.4.   Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Petani Karet
Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani karet ditinjau dari faktor sosial ekonomi adalah pendidikan, , jarak kebun, jam kerja efektif, jumlah tenaga kerja. Faktor-faktor ini sangat berpengaruh sekali dalam meningkatkan pendapatan petani karet seperti : tingkat pendidikan akan sangat membantu dalam meningkatkan pendapatan petani karet. Pendidikan merupakan salah satu pokok modal manusia, petani karet yang lebih lama mendapatkan pendidikan formal, maka besar kemungkinannya untuk dapat menerima inovasi maupun gagasan-gagasan baru yang sifatnya dalam upaya meningkatkan pendapatan petani karet. Hernanto (1989) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pengambilan keputusan agar resiko yang ada dapat dihindarkan adalah faktor pendidikan. Artinya tingkat pendidikan petani karet sangat penting diantara faktor-faktor lain yang juga tidak kalah penting.
         2.4.1.   Hasil Penelitian Sebelumnya
Erawan (1999) dalam hasil penelitiannya tentang distribusi pendapatan petani anggota PIR dan non PIR perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Merlung mengemukakan bahwa terdapat ketimpangan distribusi pendapatan yang besar yaitu sebesar 0,5674.
Menurut Thamrin (2000) dalam hasil penelitianya tentang distribusi pendapatan petani ikan kerambah di Danau Sipin mengungkapkan bahwa perbedaan dalam kepemilikan jumlah kerambah menyebabkan terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan antar petani karambah sebesar 0,622. Resnita (2002) dalam penelitiannya tentang “Analisis Efisiensi Teknis Produksi Karet di Desa Sungai Bertam” mengungkapkan bahwa dalam usaha tani karet tenaga kerja rata-rata 3 orang pada areal rata-rata seluas 3,9 hektar dengan koofisien regresi 0,135. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah tenaga kerja berpengaruh positif terhadap produksi karet dan pendapatan petani karet, hal ini berarti bahwa penambahan faktor produksi tenaga kerja dirasakan cukup penting dalam kegiatan produksi karena pada umumnya usaha tani karet di desa masih menggunakan tenaga kerja keluarga sehingga tidak mengherankan jika pada lahan karet yang cukup besar memiliki tenaga kerja yang sedikit sehingga produksi tidak optimal.

2.5.   Kerangka Pemikiran
Hidup dengan sejahtera adalah suatu hal yang sangat didambakan oleh setiap keluarga, oleh karena itu setiap keluarga selalu berusaha agar kesejahteraannya meningkat dari waktu ke waktu. Kesejahteraan memberi rasa aman dan tenang, sehingga seseorang mampu bekerja lebih produktif. Dengan adanya peningkatan kesejahteraan yang tercermin dari meningkatnya pendapatan, maka sebuah rumah tangga dapat memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan.
Pencapaian tingkat sejahtera akan selalu berbeda dan bervariasi bagi setiap rumah tangga, tergantung pada potensi ekonomi masing-masing rumah tangga. Distribusi kepemilikan lahan di Desa Pulau Pandan ini cukup merata yaitu rata-rata 2 – 4 ha perkepala keluarga. Kenyataan ini pada akhirnya juga akan berpengaruh kepada tingkat pendapatan petani di Desa Pulau Pandan. (sumber: hasil wawancara dengan kepala Desa Pulau Pandan 2007).
Namun demikian yang paling penting dalam menentukan pendapatan petani tergantung dari pengelolaan lahan dari masing-masing petani. Disamping itu juga ditentukan dari tingkat kesuburan lahan yang dimiliki mereka, hal ini yang ikut berpengaruh adalah etos kerja dari masing-masing petani yang berada di Desa Pulau Pandan, sehingga distribusi pendapatan dan tingkat kesejahteraan juga akan berbeda antara petani yang satu dengan petani lainnya. Oleh karena itu terdapat masyarakat yang tergolong miskin dan tidak miskin.
Peningkatan pendapatan diharapkan akan turut pula meningkatkan taraf hidup dan sejahteranya masyarakat. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa tingkat ketimbangan distribusi pendapatan didaerah perkotaan jauh lebih timpang jika dibandingkan dengan ketimpangan pendapatan didaerah pedesaan. Kondisi ini dikarenakan sumber pendapatan masyarakat didaerah pedesaan lebih beragam jika dibandingkan dengan keragaman sumber pendapatan didaerah perkotaan. Penduduk didaerah pedesaan pada umumnya lebih banyak hidup dan berusaha disektor pertanian. Namun pada penduduk yang berpenghasilan rendah mereka tidak hanya mengandalkan pendapatan dari hasil pertanian namun juga mencari tambahan penghasilan diluar pertanian sehingga sumber pendapatannya lebih beragam dari pada keluarga yang telah menpunyai pendapatan yang lebih tinggi.

LINKS

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Untuk Visitor Yang Berminat Berinvestasi Di Pertambangan Silahkan Saudara/i Kunjungi Website Kami http://ahmad-tarmizi.blogspot.com/ Kami SiapMelayani Anda Thanks.